Dewi Kecantikan yang Malang
“Pergi, Kau, dasar makhluk jalang!”
Argh!!
Aku mengaduh kesakitan. Tendangan Bapak paruh baya itu tepat mengenai perut kempesku. Aku segera pergi dari
depan tokonya. Membawa rasa sakit yang belum pulih. Membawa luka bakar yang
melepuh basah tak kunjung kering.
Tubuhku lemas. Dengan langkah gontai kupaksakan terus
melangkah ke toko rempah-rempah. Karena hanya Paman pemilik toko rempah-rempah
di belokan ujung jalan sajalah yang menerimaku dengan baik dan ramah, bahkan
aku sering kali mendapatkan makanan darinya meski keadaanku sekarang seperti
ini, tidak seperti Bapak pemilik toko pernak-pernik yang tadi aku kunjungi.
Belum sempat aku sampai di toko rempah-rempah, ia mendatangiku. Ia yang mengaku sahabat baikku. Sedangkan ia pula yang membuatku seperti
ini. Angin. Ya, Angin yang mendatangiku. Ia tersenyum tipis, menyapa, sementara aku berjalan tak acuh padanya.
“Malang nian nasibmu. Mana kecantikan yang dahulu
engkau banggakan?”
Ia meliuk perlahan mengitariku. Aku tak
tahan, rasanya ingin kutangkap saja dirinya. Menyiksanya sehingga ia tahu betapa
sakitnya memiliki luka di sekujur tubuh. Aku muak melihatnya, kenapa tak pergi saja kau dari hadapanku?Aku bahkan tak dapat membedakan, salah atau
benarkah kamu? Kemudian ia menelusup di sela-sela telingaku. Meniup-niup luka basah di
sekitar kening. Perih.
Ia terus mengolokku. Seperti saat aku mengolok kawan-kawanku dulu. Ini semua yang harus aku tuai setelah apa yang aku
tanam. Teringat beberapa hari sebelum kejadian itu terjadi, semua terasa
seperti biasanya. Orang-orang di sekitarku terasa ramah dan menyenangkan. Aku
selalu jadi pusat perhatian, karena jalanku yang anggun dan rupaku yang
menarik. Bahkan mereka bilang aku cantik.
Jumat pagi ini begitu tenang. Beberapa lantunan ayat suci terdengar dari
menara-menara masjid yang menjulang tinggi. Aku berjalan pelan, menghirup udara
pagi yang sejuk, menapaki trotoar abu-abu pekat basah tersiram air. Jalanan di
pasar Khan Kholili selalu ramai, apalagi di hari libur seperti ini. Pasar Khan Kholili merupakan pasar tradisional favorit para pelancong, yang
banyak menyediakan
pernak-pernik khas Mesir. Nama Khan Khalili sendiri berasal dari nama Khan, yang berarti tempat penginapan para
pedagang. Penginapan-penginapan tersebut dimiliki oleh seorang pedagang muda
yang yang bernama Khalili. Begitulah aku mendengarnya dari Paman
pemilik toko rempah-rempah saat ia berbicara dengan salah satu mahasiswa asal
Indonesia.
Memori
sebelum semua ini terjadi kembali berputar. Di sini, dipasar
ini, aku merasa layaknya bak seorang putri raja. Lihatlah Paman penjual papyrus dan hiasan
khas Mesir di muka jalan, yang selalu memanjakan
dan mengelus daguku pelan! Juga tingkah lucu Pak tua penjual parfum yang selalu antusias menungguku menyambangi tokonya.
Ada pula Bapak berjenggot lebat
pemilik toko besar yang berjualan seprai, sarung bantal, dan handuk yang selalu mempersilakanku tidur di salah satu kursi empuk wangi miliknya.
Dan yang lebih membuatku seolah menjadi wanita paling
beruntung, aku dapat duduk di pangkuan salah satu ulama besar ketika halaqah atau pengajian berlangsung. Karena rasa sayangnya beliau padaku, membuat aku terkenal dalam sekejap. Murid-murid beliau berebut menggendongku, dan banyak juga yang meminta untuk berfoto bersamaku. Sanjungan dan pujian seketika merubahku. Bagai bara api yang menyala
kecil, kemudian perlahan semakin besar, lalu membakar segala sesuatu yang ada
di sekitar. Aku seakan menjadi api yang menakutkan. Seakan menjadi Dewi Kecantikan.
Kenyamanan akan semua sanjungan seolah merubahku menjadi
makhluk angkuh nan sombong. Itu semua sebelum aku sadar, bahwa kecantikan hanya
titipan. Ketika kecantikan itu hilang, maka aku bukan siapa-siapa lagi. Kecongkakan
yang ada dalam diriku seakan seperti daging yang tumbuh, semakin hari semakin
menjadi. Decak kagum orang-orang ketika melihat kecantikan yang aku miliki, membuatku
memandang segala sesuatu tak ada yang lebih baik kecuali diriku seorang. Lalu
aku mulai mencemooh dan mengolok-olok setiap orang yang lebih buruk dariku.
Sampai akhirnya aku mulai mendewakan diriku sendiri di hadapan penyanjung kecantikanku.
***
Entah darimana aku bisa bersahabat dengan Angin. Mungkin karena sepi kerap menemani hari-hariku. Hanya Anginlah satu-satunya yang setia menemani. Persahabatan kami semakin dekat
karena Angin pun menyukai parasku yang menawan.
Terkadang ia meniup-niup bulu kecil di keningku, menggoda dan berbisik pelan di telinga, “Kau terlalu cantik untuk menjadi wanita kecil yang kesepian.”
Aku hanya tersipu malu.
Ia selalu menyapa dengan kesejukan. Ada
banyak moment bersamanya yang tak
terlupakan. Seperti ketika ia sedang menjailiku. Ia melambaikan bulu mataku yang
panjang dan lentik. Membuatku menutup mata secara spontan saat berlari, kemudian menabrak tembok keras di ujung jalan tak bercabang tanpa
sengaja. Rasa sakit karena menabrak tembok tak kuhiraukan, yang ada saat itu kita hanya tergelak. Tertawa
bersama. Tertawa akan persahabatan yang membingungkan. Kadang kita marah tanpa
alasan, dan kita tak butuh alasan pula untuk kembali berbaikan. Persahabatan
terasa indah saat itu.
“Wanita kecil cantikku, apa yang membuatmu bahagia?”
Angin mulai bertanya ketika tawa lepas kami tiba-tiba terhenti. Aku menatapnya. Ia kembali berembus meniup wajahku. Aku
merasa seakan-akan hawa sejuk masuk menembus setiap inci dari pori-pori kulitku.
“Hentikan meniup-niup wajahku! Kau bisa membuat kulitku kotor nanti. Bukankah debu selalu bersamamu,
bagaimana jika jerawat tiba-tiba muncul di wajahku? Aku akan terlihat kusam dan tidak menarik nanti!!” ucapku jengkel saat itu.
“Tak ada yang menandingi kecantikanmu wanitaku. Kau tak
perlu takut, lihatlah di sepanjang pasar ini, tak ada yang lebih cantik darimu. Mereka tak lebih hanya makhluk-mahluk kotor yang liar. Mengemis makanan seperti sampah.”
Bisikannya jelas terdengar. Mendentumkan
jantungku, dan aku mulai menyeringai.
“Aku tak suka mereka. Mereka selalu berebut makanan yang
aku saja tak sudi untuk memakannya. Kasihan juga sih, melihat mereka
seperti itu. Sementara diriku, dengan pesonaku, aku bisa mendapatkan apa yang
aku inginkan, tidak seperti mereka yang harus mengemis dahulu agar bisa makan.
Dan bahkan mereka adalah pemakan sisa bagianku.”
Tidak ada yang berubah dari percakapan kami. Angin terus
menyanjungku dan aku terus membanggakan kecantikanku. Seperti bagaimana orang-orang di sekitarku yang hanya sibuk menikmati paras cantik dan
senyum manisku. Tanpa mereka sadar, bahwa mereka adalah salah satu korban
yang tertipu dan diperbudak oleh keindahan
diriku semata.
Bisikan-bisikan angin yang berdengung di telinga kadang membuatku begah. Tapi tak dipungkiri, aku terhanyut tak sadarkan diri, membuat
setiap apa yang ia sanjung benar adanya. Aku terperangkap oleh pujianya. Pujian
yang membuatku terlena, yang dapat merubah kepribadianku saat itu. Entah
bagaimana aku bisa memulai memupuk egoku menjadi semakin keras. Bagai pasir
yang mulai mengendap sedikit demi sedikit, berkumpul dan saling terekat, bahkan
semakin banyak dan mengeras.
Selama
bertahun-tahun aku hidup selalu dengan sanjungan. Semua orang memperlakukanku
dengan baik. Semua orang menyukaiku bahkan kadang mereka memelukku gemas.
Sampai pada akhirnya, ada satu malam yang membuat hidupku berubah. Satu malam
yang mengubah takdirku menjadi seperti saat ini. Seharusnya aku lebih memilih
untuk tidur beralaskan kursi wangi di toko Bapak berjenggot lebat. Tapi saat
itu angin menemuiku, berkali-kali membisikkan agar aku ikut bersamanya.
“Wanitaku, datanglah, akan aku tunjukan dunia.”
“Apa yang ingin kau tunjukan?”
Ia tak menjawab, hanya senyum tipis yang kudapat.
Dengan langkah sedikit malas aku mengikutinya. Angin
membawaku ke pelataran depan pasar Khan Khalili. Ada beberapa petak rumput
berpagar hijau mengitari di sekeliling pelataran tersebut. Beberapa
toko teh dan syisha dipenuhi
orang-orang yang sekedar bersenda gurau, ada juga yang hanya menghabiskan waktu
liburan bersama keluarga. Lalu di sana aku melihat ada dua orang kakek tua
renta yang masih terlihat bugar bermain catur. Aku duduk di salah satu trotoar
yang berpagar hijau itu. Angin terus tersenyum padaku. Tapi kali ini senyumnya
berbeda, ada firasat tidak enak yang tiba-tiba aku rasakan. Entah apa, yang
jelas aku tak ingin berburuk sangka untuk malam itu.
Tak lama kemudian, dentuman musik khas mulai terdengar.
Semua orang yang duduk berdiri berdendang dan bergoyang seirama dengan thor, rebana Mesir. Ada yang
hanya menyaksikan dengan menepuk-nepuk tangan. Ada juga yang antusias ikut
menari. Angin menunjukkan padaku dunia para manusia di malam
hari. Sebenarnya aku tidak tertarik, aku masih mengantuk dan ingin segera
pulang. Tapi Angin terus menahanku.
Sampai akhirnya
malam semakin larut. Aku yang duduk menopang dagu dengan tangan, menunggu Angin
mengajakku kembali pulang. Tetapi tanpa
kusadari, Angin tak ada di tempat. Aku menunggunya. Lama aku menunggu, yang ditunggu tak juga kunjung datang. Aku mencoba mencarinya,
tapi nihil, aku tak bisa menemukannya. Kuputuskan untuk segera kembali ke toko Bapak
berjenggot lebat. Ternyata tokonya sudah ditutup, dan jalanan mulai sunyi, tak
ada lagi orang yang berlalu-lalang. Rasa kantuk tidak bisa lagi aku tahan, aku
melihat beberapa kardus kosong berserakan ditinggalkan oleh orang-orang yang
entah saat itu ada di mana. Aku memutuskan untuk tidur di sana, merebahkan kepala yang sudah terasa
berat, larut dalam malam yang mulai gelap dan pekat.
Uhuk! Uhuk!
Sakit di tengorokan mulai terasa. Asap tebal membuat dadaku sesak. Aku terbangun. Dan aku kaget bukan main, ada api di mana-mana. Pandanganku tertutup asap.
Aku berlari menghindari api, ada sesuatu yang jatuh dan mengenai tubuhku. Aku
berteriak kaget mengerang kesakitan. Tubuhku terbakar. Aku berlari mencari genangan air yang mungkin bisa memadamkan api yang kini
membakar tubuhku. Kugulingkan badan, berdiam sebentar, kemudian mulai bangkit meski kaki terasa sakit. Mungkin aku terkena
sesuatu saat berlari tadi.
Api mulai berangsur padam. Beberapa orang berlarian,
saling bantu membantu memadamkan kebakaran di salah satu toko, yang mana pelatarannya adalah tempat aku tertidur. Gelap sudah membiru, kini matahari mulai
timbul. Pasar kembali ramai, bukan ramai karena aktifitas seperti biasanya,
tapi ramai untuk melihat puing-puing toko yang hancur terbakar.
Luka ini semakin parah. Luka bakar ini kini mulai mengeluarkan
bau. aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya seekor kucing berbulu putih,
yang jika matahari pagi tak sengaja menyinari diriku, setiap ujung bulu putihku
akan menampakkan warna perak. Orang bilang aku indah. Tapi lihat, sekarang bulu itu terbakar nyaris gundul. Ada beberapa luka di bagian
tubuh. Aku merasa begitu kotor dan kumal.
***
Aku mencoba mendatangi satu persatu barisan
toko yang biasa aku kunjungi. Tak ada satu pun yang mau menerimaku. Berbeda
dengan dahulu, ketika aku masih memiliki bulu putih yang bersih, mereka
menyayangiku, menggedong dan memelukku. Tak jarang aku tertidur di pangkuan
mereka saat mereka mengelus-elus daguku. Namun
kini mereka
mengusirku, dan bahkan tak mengenali rupaku. Parahnya lagi, ada beberapa di antara mereka yang mengusirku secara kasar.
Aku tidak dapat menggambarkan kesedihanku saat ini. Angin juga meninggalkanku, yang sebelum pergi, ia tersenyum tipis dan melambaikan tangannya padaku. Entah apa maksudnya. Aku terus
berjalan gontai, hingga sampai di ujung jalan sebelum belokan. Aku berhenti. Di hadapanku ada sebuah toko rempah-rempah dan seorang lelaki. Wajah lelaki itu
begitu menenangkan. Aku masih ragu untuk mencoba masuk dan meminta belas kasihnya
untukku.
“Toko sepi! Ini saatnya aku masuk,” gumamku senang seraya memasuki tokonya.
Aku mencoba menaiki beberapa tumpuk karung beras seperti
biasa. Agar dia bisa melihatku.
“Paman,
coba lihat aku, aku adalah kucing cantik yang biasa kau gendong dan menaruhku
di atas mejamu. Kau tak pernah lupa memberikanku semangkuk susu dan makanan
jika aku datang menyambangimu. Paman, biarkan aku mengelus manja tangan
kekarmu, walau aku tahu, kau mungkin tak sudi lagi menyentuhku. Karena sekarang
aku berubah menjadi makhluk menjijikkan. Dengan luka-luka ini mungkin kau akan
membuangku seperti paman-paman yang lainya. Ini semua ulah Angin paman. Aku
membencinya, amat membencinya. Pagi ini saja, dia datang menemuiku, mengejeku
dengan pertanyaan bodohnya. Paman, aku tertipu olehnya ternyata ia hanya
jelmaan Iblis yang menghasutku. Dia bukan sahabat yang baik. Pertama aku kira
semua perkataanya benar, tapi ternyata pujianya adalah racun bagiku. Lihat
kini, tak ada satu kucing pun yang mau berbagi makanan denganku karena
kesombongan yang aku bangun dengan sanjungan. Harusnya dari awal aku lebih
mawas diri, tidak terjebak oleh bisikan jahatnya. Malam itu dia hmenjebakku, Paman.
Menjebakku agar keluar rumah dan tidur di jalanan. Aku tahu, dia yang
menyebabkan kebakaran itu, karena dalam kobaran api aku lihat dia ada di sana,
tertawa bagai Iblis yang menyeringai. Pagi ini saja, dia datang lagi, memastikan apakah aku
menderita atau tidak. Tolong aku, Paman!”
Aku ceritakan semua yang
terjadi. Ia menatapku lembut. Mana mungkin ia mengerti apa yang
aku ceritakan, mungkin baginya aku hanya mengeong seperti biasanya. Lalu ia kembali tertunduk untuk menulis
sesuatu.
Entah apa yang ditulisnya, yang jelas itu sudah
cukup sebagai isyarat bagiku bahwa lelaki itu tak mengenaliku dan tak menginginkan
aku ada di tokonya. Maka, sebelum ia menyuruh petugasnya untuk mengusirku, aku segera
melompat turun. Dengan kaki yang pincang aku terus berjalan menuju pintu keluar.
Sebenarnya,
lelaki itu adalah harapan terakhirku. Rasa kecewa juga sedih kembali aku
rasakan. Aku berjalan tertatih dan tak tentu arah. Matahari seakan mendukung
untuk menghukumku karena kesombongan dan keangkuhanku. Mungkin, setelah ini matahari akan tertawa lepas bahwa sekarang tak ada yang bisa
aku banggakan untuk diriku sendiri. Aku tertunduk, semua terasa asing bagiku.
Drap! Drap! Drap!
Ada suara langkah kaki di belakangku. Seketika ada yang
mengangkatku. Aku
sangat mengenali jari-jemari kekar ini. Ya, lelaki berwajah menenangkan itu, Paman pemilik toko rempah-rempah.
“Sudah
kukatakan dahulu, jangan bermain dengan Angin. Ia jahat, ia hanya jelmaan Iblis
yang ingin menghancurkanmu!” seru Paman pemilik toko rempah-rempah, berbicara
padaku sembari mengelus kepalaku pelan. Aku terkejut, kaget bukan main. Tercengang.
Benarkah ia mengerti ceritaku tadi? ***
0 komentar:
Posting Komentar
apapun yang kalian pikirin comment ja:)